Pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Lingkungan Mappala’, Kelurahan Pangka Binanga, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, menuai sorotan tajam dari warga. Program strategis nasional yang sejatinya bertujuan memberikan kepastian hukum hak atas tanah itu justru diduga menjadi ladang pungutan liar (pungli) akibat minimnya transparansi dan tidak jelasnya standar biaya.
Keluhan warga mengemuka setelah diketahui adanya tarikan biaya pendaftaran yang bervariasi dan sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 7.500.000 per bidang tanah, tanpa disertai penjelasan resmi mengenai dasar hukum, rincian peruntukan biaya, maupun tahapan penerbitan sertifikat.
Padahal, PTSL dirancang sebagai program percepatan sertifikasi tanah yang murah, sederhana, dan terjangkau, khususnya bagi masyarakat kecil.
Sejumlah warga mengaku hingga kini tidak mengetahui secara pasti:
* Alur dan tahapan PTSL
* Jadwal penerbitan sertifikat
* Standar biaya resmi yang harus dibayarkan
Kondisi tersebut menimbulkan keresahan dan kecurigaan, terlebih ketika pungutan dilakukan tanpa bukti tertulis atau kwitansi resmi.
Tokoh masyarakat Lingkungan Mappala’, Sahabuddin Daeng Nai’, menegaskan bahwa warga sangat mendukung PTSL. Namun dukungan itu berubah menjadi kekecewaan akibat lemahnya keterbukaan informasi.
“PTSL ini harapan besar warga untuk kepastian hukum tanah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, prosesnya tidak jelas, sertifikat belum terbit, dan biaya yang dibebankan sangat memberatkan,” ujarnya, Kamis (18/12/2025).
Sorotan paling serius tertuju pada dugaan pungutan liar. Berdasarkan pengakuan warga:
* Biaya yang diminta berkisar Rp 350.000 hingga Rp 7.500.000
* Warga miskin ekstrem tetap dibebankan biaya hingga Rp 3.350.000
* Tidak ada standar baku atau dasar tertulis mengenai penetapan biaya
Ironisnya, mayoritas warga berprofesi sebagai petani dan buruh harian, sehingga pungutan tersebut dinilai sangat memberatkan dan bertolak belakang dengan semangat keberpihakan PTSL kepada masyarakat kecil.
Warga menyebut pungutan tersebut disampaikan oleh Kepala Lingkungan setempat. Namun hingga kini belum ada klarifikasi resmi terkait:
* Dasar penetapan nominal
* Peruntukan dana
* Apakah pungutan tersebut disetorkan ke negara atau bersifat pribadi
Secara regulasi, PTSL mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2021.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa biaya PTSL dibatasi hanya pada biaya persiapan, seperti patok, materai, dan operasional ringan, tanpa pungutan tambahan di luar ketentuan resmi.
Pengamat kebijakan publik menilai, apabila pungutan dilakukan tanpa dasar hukum, tidak transparan, dan tidak disertai pertanggungjawaban, maka praktik tersebut berpotensi masuk kategori pungli. Hal ini dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta ketentuan pidana lain apabila ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang, penipuan, atau pemalsuan informasi.
Hingga berita ini diturunkan, warga Lingkungan Mappala’ mendesak:
* Evaluasi menyeluruh pelaksanaan PTSL
* Klarifikasi terbuka dari pihak kelurahan, kecamatan, dan ATR/BPN
* Penegakan hukum jika ditemukan unsur pungli
Warga berharap PTSL tidak berubah menjadi beban baru, melainkan kembali pada tujuan awalnya, yakni memberikan kepastian hukum tanah secara adil, transparan, dan terjangkau, bukan justru memunculkan dugaan praktik pungutan liar di tingkat bawah.
Sumber : ARIFIN SULSEL
Penulis : Mj@.19
Editor : Tim Redaksi




