BANGGAI LAUT — Dunia jurnalistik dihebohkan dengan aksi seorang perangkat Desa Bentean, Kecamatan Banggai Selatan, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, yang terang-terangan menghina profesi wartawan melalui media sosial. Pelaku bernama Fauzi Alffa, yang diketahui menjabat sebagai bendahara desa, kini menjadi sorotan tajam.
Dalam unggahan di akun Facebook pribadinya, Fauzi menulis kata-kata yang melecehkan dan merendahkan martabat pers. Salah satu unggahannya berbunyi:
"Media Pemeras lembaga pemerintah mulai beraksi lagi. Jurnalisnya orang yang patah pinsil tarabek buku. So tau tohh itu media yang saya maksud..."
Meskipun postingan tersebut telah dihapus, tangkapan layar (screenshot) sudah terlanjur menyebar luas. Tak berhenti di situ, Fauzi kembali melontarkan komentar sinis di unggahan seorang wartawan terkait putusan PTUN. Ia menulis:
"Akibatnya datang minta uang di kantor desa tidak dikasih. Jadi ancamannya mau meliput soal PTUN, hahahahaha. Tekan betul-betul. Tidak goyang dengan narasi murahan."
Kedua pernyataan tersebut dinilai sebagai bentuk penghinaan serius terhadap profesi wartawan, sekaligus merusak kredibilitas pers di mata publik. Gelombang amarah muncul, bukan hanya dari wartawan lokal, tetapi juga dari berbagai kalangan insan pers di seluruh Indonesia.
Ultimatum PRIMA: Video Permintaan Maaf atau Jalur Hukum
Menanggapi hal ini, Perkumpulan Pimpinan Redaksi Indonesia Maju (PRIMA) bergerak cepat. Melalui Kepala Divisi Hukum, Sabar Manahan Tampubolon, PRIMA mengeluarkan ultimatum keras.
"Sangat disayangkan, seorang pejabat publik dengan entengnya mencaci-maki dan merendahkan profesi jurnalis. Tuduhan 'wartawan pemeras' dan 'narasi murahan' adalah penghinaan serius tanpa dasar. Wartawan adalah pilar keempat demokrasi, bukan bahan olok-olok," tegas Sabar dari Jakarta.
Lebih lanjut, ia menegaskan, PRIMA memberi waktu kurang dari 1x24 jam bagi Fauzi Alffa untuk membuat video permohonan maaf dan klarifikasi terbuka kepada seluruh pekerja pers di Indonesia. Jika tidak dipenuhi, PRIMA memastikan akan menempuh jalur hukum.
"Ini bukan sekadar soal harga diri wartawan, tapi tentang kehormatan pers Indonesia. Jika ultimatum ini diabaikan, kami tidak akan ragu melaporkan yang bersangkutan ke aparat penegak hukum," lanjutnya.
Kasus ini menjadi alarm keras bahwa penghinaan terhadap profesi jurnalis adalah serangan langsung terhadap demokrasi. Persatuan wartawan kini menunggu, apakah Fauzi akan memilih merendahkan egonya dengan permintaan maaf terbuka, atau justru bersiap menghadapi konsekuensi hukum yang berat.(**)




